Rabu, 16 November 2011

Mengapa Gejolak Di Papua Selalua Harus Bulan Desember

Mengapa Gejolak Di Papua Harus Selalu Bulan Desember

Pertanyaan yang mesti kita analisis adalah, Ada'apa dengan 1 desember/ atau bulan desember
kita semua tauh bahwa di bulan desember adal hari kemerdekaan bangsa "papua", katanya bagi sebagian mungkin kata ini tidak lazim dan bagi sebagian orang kata ini sangat lazim mengapa harus demikian mungkin karena kronologis sejara yang sembrawut, kata sebagian orang tidak itu "fakta". Ada apa dengan fakta sejarah papua mungkin kita tidak mengerti namun kita jangan terpancing dengan keadan yang terjadi.
Memang membuka lembaran baru bagi kejadian yang lampau memang sulit walau'pun itu adalah sejara. Mengapa papua memiliki harga tawar yang begitu tinggi untuk pusat dalam hal ini jakarta dengan mengangkat aspirasi merdeka
Mengapa dengan adanya hal-hal diatas seperti ada negara didalam negara, memang sekarang gencar-gencarnya masalah ham di papua menigkat dengan banyak tembakan yang berakibat jatunya korban yang tak berdaya, apakah mereka OPM atau masyarakat yang tak berdaya seperti dikampung dan pedalaman papua
Kalau kita kembali kulas masalah yang diatas berarti kita mengangkat kebusukan-kebusukan negara  pada masa silam, itu merupakan  kronologis kejadia yang sebenarnyaan

Jadi bagi kami pecinta Indonesia kalau mau melihat pesoalan papua berarti harus pandang kebelakan sejarahnya seperti apa, dan kejadianya bagaimana, jangan pernah menilai bahwa orang papua masih dan sangan primitif untuk mengenal pengetahuan mereka sekarang sudah pintar kalau mereka tidak pintar kinapa mereka masih menuntut hak mereka tahun 1969 yang katanya cacat secarah hukum internasional pada masa pepera dulu
jadi jangan kita menekan orang papua dengan kekerasan militer, itu yang natinya akan membuat masalah bertambah rumit dan sukar untuk diselesaikan hanya mendatangkan kesusahan bagi kita orang indonesia, disisi lain kita akan mendapat tekanan dari  Internasional dan disisi lain kita akan mendapatkan embargo persenjatan dari PBB
Sekarang masalah kepulauwan ambalat di perairan perbatasan RI dan maleysia akan di bicarakan di Sidang Umum PBB, oleh sebab itu kita harus waspada.....................Ok.........................Ok















Senin, 07 November 2011

Situasi Sosial Politik di Papua: “IBARAT API DALAM SEKAM”






Refleksi
Melihat tindakan kekerasan kemanusiaan yang menimpa rakyatnya; Tuarek Narkime, seorang tetua suku Amungme dalam perasaan duka yang mendalam, menumpahkan kekesalannya dengan mengatakan seperti berikut ini:

“ Saya selalu bertanya kepada Tuhan dalam pikiran dan doa-doa saya setiap hari, mengapa Tuhan menciptakan gunung-gunung batu dan salju yang indah itu di daerah suku Amungme..?. Apakah karena gunung-gunung batu dan salju yang indah dan kaya dengan sumber mineral itu yang menarik Freeport, ABRI, Pemerintah, dan orang luar untuk datang ke sini dan mengambilnya demi kepentingan mereka dan membiarkan kami menderita..??. Dan oleh sebab itu, kami orang Amungme harus terus menerus di tekan, ditangkap, dan dibunuh tanpa alasan..??. Jika alasan itu yang kamu maksudkan lebih baik musnahkan kami, enyahkan kami agar kalian bisa mengambil dan menguasai semua yang kami miliki – tanah kami, gunung kami, dan setiap penggal sumber daya kami.”

Pada suatu kesempatan lain dalam kekesalannya, Ia katakan begini:

“ Pegang parang ini,......... Ambil dan bunuh saya sebab saya sudah tidak tahan lagi melihat masalah-masalah yang sangat menyakitkan ini. Bunuh saya......., penggal kepala saya. Belah badan saya jadi dua, keluarkan semua isi perut saya dan letakkan bersama dengan kepala. Iris bagian kiri badan dan kuburkan setiap penggal dari sini (Tembagapura) sampai ke Yelsegel (Grastberg). Begitu pula dengan bagian irisan kanan: kuburkan dari sini (Tembagapura) sampai Amamapare (Port Site). Waktu pulang kumpulkan semua orang yang kalian tahan itu, semua orang Amungme, babi-babi dan semua yang kami miliki. Gali liang yang besar dan kuburkan kami semua bersama segala yang kami miliki. Timbun dengan tanah dan kemudian lakukan apa saja yang kamu inginkan diatas kuburan kami”

Di balik luapan emosionalnya, kemudian ia katakan “Tapi Saya percaya, Panah Putih Nemangkawi Arat (Salju Putih di Puncak Nemangkawi) dapat menyejukkan hati saya untuk menyelesaikan persoalan ini secara damai .“

Analogi Panah Putih Tuarek Narkime ini menggambarkan suatu konsep optimistik yang mampu membangkitkan rasa percaya diri, bahwa setiap konflik yang muncul dalam bentuk apapun dapat diselesaikan secara damai, asal saja kita mau membuka nurani kita untuk disejukkan oleh salju putih yang diibaratkan Tuarek sebagai panah putih Nemangkawi Arat untuk menembus kekerasan hati, egoisme, keserakahan, fanatisme agama, diskriminasi ras, sehingga dengan ketenangan jiwa, ketulusan hati dan rasionalisme, kita dapat membawa konflik kepada suatu kedamaian yang berkeadilan.

Kita semua sadari bahwa fenomena baru yang muncul saat ini sebagai implikasi dari aksi demoralisasi, yang telah memperhadapkan kita kepada konflik berkepanjangan di tanah air dan khususnya di Papua. Tindakan brutalisasi oleh rakyat terhadap aparat, sebaliknya aparat terhadap rakyat, bentrok antar warga berbeda etnis dan agama adalah akibat dari dipilihnya metode kekerasan sebagai solusi penyelesaian soal; sehingga turut pula menciptakan kekusutan hidup masyarakat (social dis-organization) yang menjurus kepada kelumpuhan sosial (social entropy) dan perpecahan di kalangan rakyat (social dis-integration). Fenomena baru tersebut terus dan sedang terjadi di depan mata kita. Haruskah kita diam menyaksikan korban-korban brutalisasi yang terus saja berjatuhan di depan mata kita.. ? atau mampukah kita membawa konflik ini kepada suatu suasana yang damai, benar, adil dan demokratis melalui DIALOG..??!

Dalam nurani semua pihak yang bertikai sebenarnya sangat menyadari adanya peluang penyelesaian konflik secara damai, namun kemunafikan, egoisme, kekuasaan dan kekayaan masih mempengaruhi watak bangsa ini sehingga, kadang upaya-upaya perdamaian hanya dijadikan sebagai simbol. Hal ini tergambar jelas dalam kampanyenya, seperti: Hentikan Kekerasan, gunakan forum dialog, manfaatkan saluran demokratis. Akan tetapi kesadaran kemanusiaan itu terbatas pada suatu seruan–ibarat suatu lagu kemanusiaan yang di nyanyikan suatu Paduan Suara, selesai menyanyi, bubar dan masing-masing kembali lagi kepada aktivitas semula, dan korbanpun terus berjatuhan.

Pelajaran emas dari Kasus Abepura (16-17/3/06) yang menelan korban (5 orang aparat keamanan) dan masyarakat sipil-mahasiswa orang, 3 orang (1 ibu dan dua anak kena tembakan peluruh nyasar) dan kerugian fisik akibat pengerusakan asmara-asrama mahasiswa oleh aparat keamanan (Brimob) saat melakukan penyisiran dan penangkapan mahasiswa di asrama-asrama, maupun masyarakat sipil di perkampungan-perkampungan penduduk, serta ratusan mahasiswa yang ketakutan malarikan diri dan tinggal di hutan. Kerusakan fisik gedung Aula UNCEN, peristiwa tersebut merupakan potret buram perlakuan pemerintah dan aparat keamanan yang terus menambah lembaran fakta-fakta kasus pelanggaran HAM di Papua.
Semua peristiwa yang terjadi dulu sekarang dan akan datang, merupakan akumulasi kekecewaan rakyat papua yang sudah cukup lama terpendam akibat tersumbatnya saluran demokrasi rakyat, kekerasan, intimidasi, teror, penangkapan, penculikan dan pembunuhan, kerusahakan lingkungan, di papua. Serta merupakan ekspresi spontan rakyat atas sikap pasif pemerintah yang tidak melihat, mendengar, merasakan, penderitaan rakyat yang telah berlangsung lama dari waktu ke waktu……dan tidak membuka diri untuk berdialog dengan rakyat papua untuk menyelesaikan berbagai persoalan di papua.
Di sisi lain, kondisi ini sengaja dibiarkan oleh pemerintah berlarut-larut sehingga wilayah papua tetap dijadikan sebagai daerah operasi militer, lahan bisnis oknum-oknum pemerintah, aparat keamanan, pengusaha-pengusahan. Sikap pemerintah pusat ini juga dilakukan juga oleh para pejabat-pejabat di papua yang haus kekayaan, kehormatan yang berujung pada merajalelahnya Korupsi secara besar-besaran di berbagai instansi pemerintah yang pada akhirnya membuat masyarakat menjadi korban.
Akankah kita sebagai bangsa yang berbudaya tinggi bertindak ibarat tim paduan suara yang hanya terus menerus melagukan lagu kemanusiaan tanpa ada penyelesaian masalah secara kemanusiaan pulah ...??

Ucapan almarhum Tuarek Narkime, seorang Kepala Suku yang lugu dan tidak berpendidikan masih menggema dibelantara pegunungan Papua “Telanjangi diri dari segala keangkuhan, egoisme, angkara murka dan singkirkan segala kepentingan dan kemunafikan, kemudian marilah duduk bersama-sama melihat soal dari kaca mata kemanusiaan”. Biarkanlah panah putih nemangkawi arat menembus relung hati, sehingga ada kesejukan, ketenangan jiwa, kasih sayang, dalam hati setiap pribadi pihak bertikai untuk membawa konflik kedalam suasana baru – Indonesia Baru yang demokratis.

Keprihatinan melihat kondisi sosial politik di tanah air, serta kekhawatirannya terhadap timbulnya konflik yang lebih besar secara khusus di Papua akibat akselerasi tuntutan Papua Merdeka, turut mendesak hadirnya tulisan ini, yang tentunya di harapkan dapat dijadikan bahan renungan bersama semua pihak, dengan demikian maka simbol Panah Putih Nemangkawi Arat-nya Tuarek Narkime dapat menjadi acuan bagi semua pihak untuk mencari jalan keluar penyelesaian berbagai masalah di Papua secara komprehensif dan damai yang menghormati nilai-nilai demokrasi dan ham. Semoga...................


Latar Belakang
Selama lebih-kurang 41 tahun rakyat Papua hidup dalam negara Indonesia sudah lebih dari 100.000 rakyat Papua yang dibantai. Pembangunan yang Jakarta buat untuk Papua selama ini hanya melahirkan penderitaan dan kesengsaraan karena merampas hak-hak masyarakat adat (250 suku) di negeri Papua, dimiskinkan dan kesehatannya buruk. Situasi buruk ini sudah sampai pada tingkat di mana rakyat Papua menghadapi apa yang disebut ‘Survival of the West Papuan People (suatu situasi tentang mati-hidupnya bangsa Papua). Universitas Yale (USA) dalam laporan penelitiannya, menyebutkan bahwa berbagai proses yang dilakukan militer dan pemerintah Republik Indonesia, baik melalui pembunuhan-pembunuhan secara kilat, penyiksaan dan pemerkosaan oleh aparat keamanan, pemerintah yang mengabaikan kesehatan dan ekonomi rakyat serta merusak lingkungan hidup orang Papua, displacement oleh pemerintah untuk kepentingan proyek-proyek pembangunan, dan sebagainya—semua itu adalah Crime Against Humanity dan dalam beberapa hal dapat mendekati Genocide. Michael Rumbiak (alm) dalam analisis demographisnya mengatakan bahwa orang Papua saat ini hanya 1 juta orang¹. Berbagai proses yang terjadi di Papua, baik operasi-operasi militer, family planning, pengabaian pemerintah terhadap kesehatan rakyat, arus migrasi dari luar yang luar biasa telah mengakibatkan orang Papua mengalami apa yang dikenal dengan Depopulasi (penurunan jumlah penduduk). Menurut perkiraan Michael Rumbiak kalau situasi ini tidak dicegah, maka dalam jangka waktu 20 sampai 25 tahun orang Papua akan minoritas dan punah diatas tanahnya sendiri.

Pemekaran provinsi Papua yang di dukung oleh pemerintah pusat dan militer bukan hanya punya maksud politik alias memecah persatuan orang Papua, tetapi yang paling berbahaya ke depan adalah influx of migrants yang akan menguasai dan mendominasi penduduk